Selasa, 23 Juni 2020

Makalah Definisi Al-Quran Dan Adab Membaca Al-Quran - Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

DEFINISI ALQURAN DAN ADAB MEMBACA ALQURAN
MATA KULIAH TAHSIN QUR’AN
Dosen Pengampu: Sumiyati, M.Pd.I
DISUSUN OLEH
KELAS F / SEMESTER 2

KELOMPOK 1

Alfa Rizky            1911050251
Amanda Mustika 1911050258
Jestica Dwi             1911050334



PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2019/2020

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami., sehingga dapat menyelesaikan makalah Tahsin Qur”an dengan judul “ Definisi Alquran dan Adab Membaca Alquran “. Tak lupa serta sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad Shallaallahu’alaihi wa sallam beserta keluarganya, sahabatnya dan sampai kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini telah kami susun dengan bantuan dari berbagai sumber bacaan. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu sangat diperlukan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah-makalah kami selanjutnya. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.


                    Bandar Lampung, 10 Maret 2020



               Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Alquran
2.2 Adab Membaca Alquran
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang merupakan mukjizat terbesar sepanjang sejarah manusia. Bagi siapa saja yang membaca al-Quran sekalipun tidak memahami maknanya, terhitung sebagai ibadah dan mendapatkan ganjaran pahala yang sangat besar sebagaimana dijelaskan dalam hadits Qudsi yang artinya diriwayatkan oleh Abu Said, Rasululloh SAW bersabda “Allah SWT berfirman: siapa-siapa yang disibukkan dari memohon kepada-Ku karena membaca al-Quran, maka Aku akan berikan dia sebaik-baik ganjaran orang yang bermohon. Kelebihan firman Allah dari semua perkataan adalah seperti kelebihan Allah dari semua makhluk-Nya.”
Dari Hadits di atas, jelas sekali bahwa al-Quran memiliki posisi yang sangat mulia sebagai sebaik-baik kitab suci dan sekaligus pedoman hidup bagi umat manusia.Karena kemulian al-Quran dan untuk mendapatkan ganjaran pahala yang besar.
Penulis memilih judul “Adab dalam Membaca dan definisi al-Quran” ini sebagai bahan makalah karena, selain untuk menyelesaikan tugas edukasi individu atau kelompok, penulis juga tertarik ingin mengetahui apa dan bagaimana adab atau etika dalam membaca al-Quran.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Al-Quran Menurut Bahasa?
2. Apa Definisi Al-Quran Menurut Istilah?
3. Apa Adab Membaca Alquran?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Alquran
2. Untuk Mengetahui Adab Membaca Alquran

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Alquran Menurut Bahasa
Dari segi bahasa, Al Qur’an berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk jamak dari kata benda atau masdar dari kata kerja qara’a – yaqra’u – qur’anan yang artinya adalah “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. , inilah pengertian al qur’an dalam bahasa arab, dan Allah memilih bahasa arab menjadi bahasa al-quran yaitu : dalam kosa kata bahasa arab tidak dapat dirubah walau satu huruf saja, jika di rubah maka maknanya akan berbeda. 
Jadi bisa di bilang Al-Qur’an adalah bacaan suci (membacanya bernilai ibadah dan mendapatkan pahala), tentunya sesuai dengan tata aturan yang berlaku baik dalam pengucapan huruf perhuruf (mahroj) ataupun tajwidnya. 

2.2 Menurut Istilah
Al Qur’an secara istilah berarti kitab suci umat Islam yang di dalamnya berisi firman-firman Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai mukjizat. 
Al-Qur’an berarti bacaan mulia yang merupakan wahyu yang di turunkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS dan merupakan penutup kitab suci dari agama samawi (yang di turunkan dari langit). Al-Qur’an adalah wahyu murni dari Allah SWT, bukan dari hawa nafsu perkataan Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an disampaikan dengan jalan mutawatir dari Allah SWT dengan perantara malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW dan membacanya bernilai ibadah.. 
Al-Qur’an memuat aturan-aturan kehidupan manusia di dunia, sehingga Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Di dalam Al-Qur’an terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang berian. 
Al-Qur’an juga memiliki suatu kedudukan yang sangat tinggi bagi penganut agama islam, sehingga umat islam akan sangat marah apabila ada orang atau pihak yang mencoba melecehkan Al-Qur’an.

2.3 Adab Membaca Alquran
Membaca alquran setiap hari tentu akan mendatangkan banyak manfaat seperti mendapat pahala berlipat, derajatnya diangkat oleh Allah SWT, mendapatkan ketenangan hati, mendapat pertolongan Allah SWT di hari kiamat serta terbebas dari aduan Rasulullah SAW pada hari kiamat.
Alquran sebagai kitab suci Allah SWT mempunya adab-adab tersendiri bagi orang yang membacanya. Adab membaca alquran yang benar sudah diatur dengan sangat baik, untuk penghormatan dan keagungan Alquran. Setiap muslim harus berpedoman kepadanya dan mengerjakannya.
Hendaklah yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah, bukan berniat ingin cari dunia atau cari pujian.
Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut tersebut bisa dibersihkan dengan siwak atau bahan semisalnya.
Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun jika membacanya dalam keadaan berhadats dibolehkan berdasarkan kesepatakan para ulama. Ini berkaitan dengan masalah membaca, namun untuk menyentuh Al-Qur’an dipersyaratkan harus suci. Dalil yang mendukung hal ini adalah: 
عَنْ أَبِى بَكْرِبْنِ مُحَمَّدِبْنِ عَمْرِوبْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًافَكَانَ فِيهِ لاَيَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ 
Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449.Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).

Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat anjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid berniat i’tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat.Bahkan sudah sepatutnya sejak masuk masjid tersebut sudah berniat untuk i’tikaf.Adab seperti ini sudah sepatutnya diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum paham).Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin langka.”(At-Tibyan,hlm.83).
Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan sakinah dan penuh ketenangan.
Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awudz. Bacaan ta’awudz menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”. Membaca ta’awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib.
Perintah untuk membaca ta’awudz di sini disebutkan dalam ayat,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl:98).
Membaca “bismillahir rahmanir rahim” di setiap awal surat selain surat Bara’ah (surat At-Taubah).
Catatan: Memulai pertengahan surat cukup dengan ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir rahim. 

Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusyu’ dan berusaha untuk mentadabbur (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.
Perintah untuk mentadabburi Al-Qur’an disebutkan dalam ayat, 
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24) 
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan 
Dari uraian diatas dapat diambil suatu intisari bahwa Khawarij muncul dizaman khalifahan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dikatakan khawarij karena meraka keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap kebijakan pamerintahan Ali bin Abu Thalib Radiyallahu’anhu.
Penyebab munculnya khawarij akibat dari perbedaan pandangan dalam berfikir. Corak pemikiran aliran khawarij dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis cenderung tekstual dan parsial, sehingga melahirkan pemahaman yang kaku dan sektarian serta bersikap tendensius mudah memvonis salah, menghukumi kafir/musyrik kepada yang tidak sependapat dengan alirannya.
Mengenai sekte, khawarij terpecah menjadi 7 pecahan utama, yaitu Al-Azariyah, An-Najdad, Al-Tsa’alibah, Al-Baihasiyah, Al-Ibadliyah, dan As-Shufriyah.
Dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bahwasannya, pemahaman Khawarij menyelisihi sunnah Rasulullah SAW dan mudah memfonis kaum muslimin, sehingga Khawarij dikategorikan sebagai aliran yang menyimpang dalam islam. Sebaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya “Khawarij adalah anjing-anjing (penghuni) Neraka”   

3.2 Saran
Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini.Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

https://alquranalfatih.com/ilmu-islam/pengertian-al-quran/
https://rumaysho.com/11261-8-adab-membaca-al-quran.html
http://kumpulanartikelkampus.blogspot.com/2015/04/makalah-adab-dalam-membaca-al-quran.html
https://www.idpengertian.com/pengertian-al-quran-menurut-bahasa-dan-istilah/

Makalah Pemikiran Kalam Salaf - Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

MAKALAH TENTANG
PEMIKIRAN KALAM SALAF (IBN HANBAL DAN IBN TAIMIAH)

MATA KULIAH : TAUHID DAN ILMU KALAM
DOSEN PENGAMPU : RINDANG SUSANTO,M.Pd.I
DISUSUN OLEH :
KELAS F / SEMESTER 2
ANNISA         1911050265
JESTICA DWI               1911050334
LUTHFIA AZZAHRA 1911050117
NADIA AZ-ZAHRA     1911050138
SITI HARDIYANTI 1911050201
YEYEN MARLENI       1911050432

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
TAHUN PELAJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkanbkepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Solawat dan salam senantiasa selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad SAW.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi, baik  yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi inibtidak lain berkat bantuan, dorongan, danbimbingandosen, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam membimbing kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuannya tentang “Pemikiran Kalam Salaf (IbnHanbal dan IbnTaimiyah” yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumberi informasi, referensi, dan berita.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya mahasiswa Universitas Islam Negeri RadenIntanLampung. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun.

Bandar Lampung, 7 April 2020



Penulis

BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada awalnya ilmu kalam lahir banyak persoalan yang timbul dikalangan masyarakat, karena itulah muncul berbagai pendapat dan pemikiran, sehingga terbentuk aliran-aliaran pemikiran para ulama. termasuk aliran teologi yang untuk menyelesaikan masalah-masalah kalam tersebut.

Hal ini berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun psikologis dan terus berkembang untuk mencari nilai-nilai kebaikan. Ilmu kalam dengan perkembangannya menimbulkan permasalaan, kemudian berkembang menjadi beberapa aliran, hal ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan yang dimulai oleh para ulama kalam.
Disini kita akan menggali lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran yang mereka jalani, Aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai landasan yang dijadikan dasar mereka dalam ber-hujjah. Baik itu Al-Qur’an maupun Hadits. 

Diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran Salafiyah. Ada banyak sekali ulama-ulama salaf yang tersebar di seluruh dunia, dan pada makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah. Disamping biografi dan riwayat hidup dari dua ulama di atas juga akan dibahas tentang pemikirannya, seperti Imam Ahmad Bin Hanbali yaitu tentang ayat-ayat mutasyabihat dan kemakhlukanal-qur’an sedangkan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat allah dan lainnya.
Namun sebelum pembahasan tentang ulama-ulama salaf beserta pemikirannya didalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian salaf itu sendiri.

1.2.  Rumusan Masalah
1. Apa pengertian salaf ?
2. Bagaimana asal usul pemikiran kalam Salafiyah ?
3. Siapa biografi ulama salaf dan pemikirannya?
4. Bagaimana perkembangan salafiyah di Indonesia ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian salaf.
2. Untuk mengetahui asal usul pemikiran salaf.
3.Untuk mengetahui biografi dan pemikiran ulama salaf.
4. Untuk mengetahui perkembangan salafiyah di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Salaf
Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf  juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam TahrirulMaqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat.

Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’itTabi’in.
Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.  Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah ulama yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad pada abad ke-13.

Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut :
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai fahamanthropomorphisme.
4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.

Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam IbnTaimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.

2.2 ASAL – USUL DAN SEJARAH SALAF
Istilah salafy ini telah digunakan sejak zaman Rasulullah sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”
Kata salafiyah diambil dari kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-Ṣāliḥ" (Arab: السلف الصالح) yang berarti "pendahulu yang sholih". Dalam terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam. Terdapat dalam sebuah hadits :
"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (para sahabat) kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi'in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi'ut tabi'in)." Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya.
Pokok ajaran dari ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya inovasi atau tambahan dalam syariat Islam karena pengaruh adat dan budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang sesuai dengan agama Muhammad pertama kali berdakwah.

Salafisme juga telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam, di mana penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik yang hanya sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad.
Salafiyyah ialah orang – orang yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran para salaf  . Mereka terdiri dari ulama Salaf . Mereka muncum pendapat bahwa garis besar mereka bermuara pada pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbali yang menghidupkan aqidah ulama salaf dan berusaha memerangi paham lainnya .
Aliran Salaf ini lahir kembali dalam abad ke IV H . , digerakkan oleh penganut – penganut Hanbali , yang mengaku bahwa keyakinan berdasarkan pendirian Ahmad bin Hanbal , yang mula – mula ingin menghidupkan kembali ajran islam menurut keyakinan Salaf dan membasmi aliran – aliran yang bertentangan dengan itu. 

Aliran Salaf ini digerakkan kembali dalam abad yang ke VII H . Oleh Ibn Taimiyah , yang menjadikan aliran itu bahan terpenting dalam penyiaran agamanya . Keyakinan ini mendapat sambutan dalam ke XII H . Dari Muhammad bin Abdulwahab , yang dengan bantuan keluarga raja Alsa’ud menyiarkan agama ini dengan kekerasan .

Pembicaraanya berputar sekitar tauhid , perkara penta’wilan ayat – ayat mutasyabihat dalam Qur’an , perkara berdo’a di kuburan  , masalah – masalah yang sebenarnya sudah pernah lahir dalam abad yang ke IV H .

Selanjutnya pada abad ke – 12 Hijriah pemikiran serupa muncul kembali di Jazirah Arab , dihidupkan oleh Muhammad ibn’Abdul Wahhab . Kaum Wahabi ini terus – menerus mengkampanyekannya sehingga membangkitkan amarah sebagian ulama . Oleh karena itu , harus ada penjelasan mengenai paham ini. Ulama mazhab Hanbali menyinggung pembicaraan tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur . Mereka berbicara tentang ayat – ayat takwil dan tasybih . Hal inilah yang mereka munculkan pertama kali pada abad ke – 4 Hijriah . Mereka mengidentifikasikan pembicaraan mereka ini kepada pendapat Imam Ahmad ibn Hanbali . Identifikasi ini didiskusikan oleh sebahagian tokoh – tokoh mazhab itu .

2.3.  Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya
Imam Ahmad Bin Hanbali
a.    Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibnHanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya meninggal ketika IbnHanbal masih remaja, Namun ia telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan  Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya IbnHanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai seorang dermawan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab JawabatulQur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alalJahmiyyah, Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.
b.   Pemikiran Teori IbnHanbal
a)      Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , IbnHanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.)  قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ
Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.
Dalam hal ini IbnHanbal menjawab“Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, IbnHanbal menjawab : “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibnhanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadistmutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b. Tentang Status Al-Qur’an
           IbnHanbal tidak sependapat dengan fahamMu’tazilah, yakni Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadimdisampingTuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
           Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad IbnHanbal.Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

2. Ibn Taimiyah
a. Riwayat Singkat Hidup IbnTaimiyah
Nama lengkap IbnTaimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiulawwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibnTaimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan IbnArabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. BerulangkaliIbnTaimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.
b. Pemikiran Teori IbnTaimiyah
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :
Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist.
Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal.
Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama.
Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan tabi’i-tabi’in).
Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
IbnTaimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. IbnTaimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan IbnTaimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
      Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhubinafsihi, dan wahdanniyah.
Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, rabbal-amin, khaliqal-kaum. Dan falikal-habbwaal-nawa.

Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
IbnTaimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya. 
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal: 
a. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia. 
b. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemaun serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. 
c. Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk. Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam masalah sosiologi politik yang mempunyai dasal teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.

3. Muhammad Ibn Abdul Wahab (W. 1792 M)
Lahir di perkampung Uyainah di bagian selatan kota najd (Saudi arabia). Ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran ibu Taimiyah. Pengikut akidahnya dikenal sebagai wahabi atau dikenal juga dengan salafi. Namun, penganut wahabi menolak menganut madzhab wahabi. Karena menurut para ulama Muhammad Ibn Abdul Wahab amat mahir dalam mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karena itu, ia mendapat julukan syaikhul Islam dan ajarannya tersebar, padahal banyak dikecam oleh ulama-ulama pakar karena kebatilan akidah dan pahamnya. Sehingga penganut wahabi menggelarkan diri sebagai golongan al-muwahhidin atau madzhab salafiyah (pengikut kaum salaf), karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid kedalam islam dan kehidupan Rasulullah SAW.
Muhammad Bin Abdul Wahab mengaku bahwa hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid  dan mengenal islam dengan sempurna. Dia menafsirkan pemahaman ulama dari golongan manapun dengan konsep tauhid, termasu dari guru-gurunya sendiri dari madzhab hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsepnya telah melakukan penyebaran ajaran bathil, yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.       
   
2.3. Perkembangan Salafiyah di Indonesia
Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnahwaal-jama’ah, di luar kelompok Syiah. Selain itu, Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi, ide pembaruan ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan padiri. Yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832.
Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim, dalam salah satu tulisannya, bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1673). Ditahuan 80-an, dengan maraknya gerakan kembali kepada islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafi di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Disamping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal gerakan salfi di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (solo), dan Abu Nida (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah majalah gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia, sebelum mereka kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian. 

2.4 Dokrin-Dokrin Pokok
Pemikiran dan Doktrin Aliran Salaf Pokok ajaran dari ideologi dasar Salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya, oleh karena itu tidak dikehendaki inovasi yang telah ditambahkan pada abad nanti karena material dan pengaruh budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini.
 Salafi sangat berhati-hati dalam agama, apalagi urusan aqidah dan fiqh. Salafi sangat berpatokan kepada as salafus sholeh. Bukan hanya masalah agama saja mereka perhatikan, tetapi masalah berpakaian, salafi sangat suka mengikuti gaya berpakaian seperti zaman as salafus sholeh seperti memakai sorban atau gamis bagi laki-laki atau memakai celana-celana menggantung, dan juga memakai cadar bagi kebanyakan wanita salafi. Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Minhaj as-sunnah dengan tegas menolak metode rasional Mu’tazilah yang menetapkan adanya harmoni (kesesuaian) naql (transferensi) dengan ‘aql (nalar). Apabila terjadi kontroversi antara keduanya, maka yang digunakan adalah nalar dengan melakukan interpretasi alegoris (ta’wil) terhadap naql (transferensi). Ibnu Taimiyyah menawarkan metode alternatif, yaitu harmonitas rasional yang jelas dengan periwayatan yang valid. Maka, jika terjadi kontraversi diantara nalar dan naql, ia menyerahkan (penyelesaian) pada naql karena yang mengetahuinya hanyalah Allah semata. Epistemologi Ibnu Taimiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk menolak interpretasi (ta’wil), sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fitrahnya. Dengan fitrah-nya itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fitrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama yang disebut sebagai fitrah yang diturunkan, maka metodologi kaum kalam baginya adalah sesat. Adapun 3 pokok Ajaran Salaf seperti yang di jelaskan berbagai sumber sebagai berikut: 
Keesaan dzat dan sifat Allah, Salaf menegaskan bahwa sifat-sifat, nama-nama, perbuatan dan keadaan Allah adalah seperti yang tersebut dalam Al-qur’an dan hadis dimaknai sebagaimana arti lahiriyahnya (tapi menghindari penafsiran secara indrawi) dengan batasan, keadaan-Nya berbeda dengan makhluk-Nya (mukhalafatu lil khawaditsi ), karena Tuhan itu suci dari sesuatu yang ada pada makhluknya. Dengan arti lain, bahwa pemahaman yang digunakan ialah diantara “ta’thil” (peniadaan sifat) sama sekali dan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan makhluknya). 
Keesaan penciptaan oleh Allah, bermakna bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah itu merupakan karya Allah mutlak, tanpa sekutu dalam penciptaannya, tiada yang merecoki kekuasaannya, segala sesuatu datang dari pada-Nya, dan segala sesuatu kembali kepada-Nya. Dari kajian ini, maka timbul persoalan baru apakah perbuatan manusia itu “jabbar” (determinasi) yang merupakan produk naql dan menolak atas praksis akal, atau “ikhtiari” (liberasi) yang merupakan produk akal dan interpretasi alegotis-metaforis terhadap naql (wahyu). Mereka mengambil sikap dan pemahaman antara paham mu’tazilah dan asy’ariyah . 
Keesaan ibadah kepada Allah, dimaksudkan adalah bahwa ibadah tidak dihadapkan serta dilaksanakan kecuali kepada Allah, dengan secara ketat mengikuti ketentuan syara’ dan tidak didorong oleh tujuan lain, kecuali untuk dan sebagai sikap taat serta pernyataan syukur kepada-Nya. Kajian ibadah tidak dimasudkan untuk melihat sah-batalnya dan tidak pula dalam tinjauan rukun dan syaratnya, tetapi yang dikehendaki adalah ada tidaknya jiwa tauhid didalam ibadah (ritual) itu. Konsekwensi dimasukkan ibadah dalam kajian teologi kaum salaf melahirkan tindakan praksis yaitu: pelarangan mengangkat manusia (hidup atau mati) sebagai perantara (wasilah) kepada Tuhan atau dengan kata lain dilarang bertawassul, larangan memberi nazar kepada kuburan atau penghuninya atau penjaganya, dan larangan ziarah kubur orang saleh dan para nabi.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu ‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para Tabi’in dan selanjutnya Tabi’iTabi’in.
Imam hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadistmutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Muhammad Ibn Abdul Wahab, lahir di perkampung Uyainah di bagian selatan kota najd (Saudi arabia). Ia mengaku sebagai salah satu penerus ajaran ibu Taimiyah. Pengikut akidahnya dikenal sebagai wahabi atau dikenal juga dengan salafi. Namun, penganut wahabi menolak menganut madzhab wahabi.Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.
Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang lebih mirip agama Muhammad selama ini. Dalam mindset paham salafi doktrinal mereka dapat di rumuskan sebagai berikut: 
 1. Kemutlakan akidah dan wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dan menganggap metode ahli filsafat yang mengedepankan logika sebagai hal yang salah dan sesat. 
 2. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak. 
 3. Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk menakwilkan Al-Qur’an atau menafsirkannya ataupun menguraikannya, kecuali dalam batasan-batasan yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan pula oleh hadits-hadits. Selain itu, salafiyyah juga melarang ziarah kubur bilamana dengan tujuan untuk meminta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah, yang boleh dan bahkan dianjurkan bila dengan tujuan mencari keteladanan (al-‘idhah) dan nasihat (i’tibar), yang terakhir mereka mengharamkan tawassul. 

3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan karya-karya berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:UIPress
http://ferdiansweblog.blogspot.com/2010, diakses pada tanggal 7 April 2020
http://nuris23.wordpress.com/salafiyah-yang-dibina-oleh-dr-aminullah-el-hady/ , diakses pada tanggal 7 April 2020
http://www.darussalaf.or.id, diakses pada tanggal 7 April 2020.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Salafiyah, diakses pada tanggal 7 April 2020.
Http://www.hunter.blogspot.com di akses tgl. 7 April 2020.
http://id.wikipedia.org/wiki/Salafiyah#cite_note-KepelJihad-7, diakses pada tanggal 7 April 2020.
http://rahmah-anjwah.blogspotcom/2015/05/makalah-aliran-salaf-dalam-ilmu-kalam.html?m=1, diakses 7 April 2020.

Makalah Puasa Sunnah

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah fiqih dengan judul “berbagai macam puasa sunnat “ tepat pada waktunya.

Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan referensi dari berbagai sumber untuk membantu menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah. ini oleh karena itu, kami sangat menerima kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. 

Wassalamualaikum wr.wb


   Bandar lampung,26 Oktober 2019




                                      Penulis


DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
      1.1 Latar Belakang Masalah
      1.2 Rumusan Masalah
      1.3 Tujuan  
      1.4 Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
      2.1 Pengertian Puasa Sunnah
      2.2 Macam-macam Puasa Sunnah
      2.3 Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah
BAB III PENUTUP
      3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam, puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai ibadah wajib yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung banyak hikmah yang berkaitan dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara pasti berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain; Allah berfirman (dalam hadits qudsi): Semua perbuatan manusia itu untuknya sendiri, kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalas cukup ibadah puasanya itu. Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim: barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan memisahkan dirinya dari neraka sejauh 70 kharif (70 tahun jarak perjalanan). 
Selain Ramadhan, bulan-bulan yang paling afdhal untuk melakukan puasa adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab; dan yang paling afdhal daripadanya adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzul Hijjah, kemudian Dzul Qa’dah dan barulah Sya’ban.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Puasa Sunnah ?
2. Apasaja Macam-Macam Puasa Sunnah ?
3. Bagaimana Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar dapat mengetahui pengertian puasa sunnah
2. Agar dapat mengetahui apa saja macam-macam puasa sunnah
3. Agar dapat mengetahui ketentuan melakukan puasa sunnah

1.4 Manfaat Penulisan
Agar dapat mengetahui ada berapa macam puasa sunnah dan keistimewaannya serta dapat mengetahui ketentuan dalam melakukan puasa sunnah. 


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain
itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى  بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencientainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya”

2.2 Macam-macam Puasa Sunnah
1. Puasa Senin Kamis
Ibadah puasa sunnah yang paling umum dan paling sering kita dengar adalah puasa Senin Kamis. Puasa yang dilaksanakan setiap hari Senin dan hari Kamis ini merupakan ibadah puasa sunnah yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. Ada beberapa hadis yang menyebutkan tentang puasa Senin Kamis.

Dari Abu Qotadah Al Anshori RA, Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab, “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.”(HR. Imam Muslim No. 1162).
Keutamaan puasa di hari Senin dan Kamis juga disebutkan dalam hadis lain yakni:
“Pintu surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Setia hamba yang tidak berbuat syirik pada Allah sedikit pun akan diampuni (pada hari tersebut) kecuali seseorang yang sedang bermusuhan atau memiliki masalah dengan saudaranya. Kelak akan dikatakan pada mereka, ‘Akhirkan urusan mereka sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Imam Muslim No. 2565).
Ada dua keutamaan yang bisa kita dapatkan dengan melakukan puasa Senin Kamis.Yang pertama adalah mendapatkan pahala karena beramal di waktu yang diutamakan (hari Senin dan Kamis merupakan hari di mana catatan amal kita dilaporkan kepada Allah SWT) dan yang kedua adalah kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat setiap minggunya.

2. Puasa Daud
Ibadah ini dicontohkan oleh Nabi Daud AS dan juga dilakukan oleh Rasulullah SAW. Caranya yakni dengan melakukan selang-seling dalam berpuasa (sehari berpuasa dan sehari tidak). Puasa Daud juga merupakan ibadah puasa sunnah yang paling disukai Allah SWT. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
“Sebaik-baik salat di sisi Allah adalah salatnya Nabi Daud ‘alaihis salam. Dan sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud. Nabi Daud dulu tidur di pertengahan malam dan beliau salat di sepertiga malamnya kemudian tidur lagi di seperenamnya. Sedangkan puasa Daud adalah puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya.”

Karena puasa Daud dilakukan hampir setiap hari, Rasulullah tidak menganjurkan kita untuk menambah puasa sunnah lainnya (jika sudah melakukan puasa Daud).

3. Puasa Syawal
Seperti namanya, puasa sunnah ini adalah puasa yang dilakukan di bulan syawal(setelah bulan Ramadan). Puasa Syawal dilakukan sebanyak 6 hari, boleh berturut-turut dan boleh tidak. Salah satu keutamaan puasa Syawal disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka pahala yang dia dapatkan seperti orang yang berpuasa setahun penuh.”

Keutamaan lainnya disebutkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

“Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah SAW, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fitri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan yang sama besarnya.”

4. Puasa Bidh
Puasa bidh, yaitu puasa yang dilakukan tiga hari setiap bulan Hijriyah, tepatnya pada  tanggal 13,14,dan 15. Karena dilaksanakan saat bulan bersinar penuh, puasa ini juga disebut dengan puasa hari putih.

Hadits yang mejelaskan tentang puasa  bidh yaitu:

“Abu Dzar berkata, “Rasulullah ﷺ menyuruh kammi agar berpuasa tiga hari dalam setiap bulan padi hari-hari putih(bidh) tanggal 13,14,dan 15”. (HR.An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

5. Puasa Dzulhijjah
Dzulhijjah merupakan ibadah puasa sunnah yang dilakukan sebanyak 10 hari di bulan Dzulhijjah. Puasa ini dilakukan sebanyak 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Di hari kesepuluh yang bertepatan dengan pelaksanaan hari raya kurban, kita hanya diminta untuk berpuasa hingga selesai melaksanaan salat hari raya. Setelahnya, kita tidak diperbolehkan melanjutkan puasa karena hukumnya menjadi haram.

Keutamaan puasa Dzulhijjah bisa kita temukan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang berbunyi, 
“Tidak ada hari-hari yang lebih disukai Allah untuk dipakai beribadah lebih dari sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Berpuasa pada siang harinya sama dengan berpuasa selama satu tahun dan salat pada malam harinya sama nilainya dengan mengerjakan salat pada malam lailatul qadar.”

6. Puasa Arafah
Puasa Arafah berhubungan langsung dengan puasa Dzulhijjah karena dilaksanakan pada hari kesembilan di bulan Dzulhijjah atau menjelang hari raya Idul Adha. Dinamakan puasa Arafah karena di hari tersebut umat Islam yang berhaji sedang melaksanakan ibadah wukuf di Arafah. Puasa Arafah memiliki satu keistimewaan yang sangat besar yakni dihapuskan dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Ini sejalan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah Al Anshari RA,
 “Dan Rasulullah SAW ditanya tentang berpuasa di hari Arafah. Maka, Rasulullah bersabda, ‘Puasa ini dapat menebus dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang’.” (HR Imam Muslim).

7. Puasa Asyura dan Puasa Tasyu’a
Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dilaksanakan setiap tanggal 10 di bulan Muharram sedangkan puasa Tasyu’a dilakukan setiap tanggal 9 Muharram. Keutamaan puasa Asyura disebutkan dalam sebuah hadis.
“Keutamaan puasa Asyura adalah dihapuskan dosa-dosa kecil pada tahun sebelumnya.” (HR. Imam Muslim).

8. Puasa Muharram
Puasa Muharram pada dasarnya merupakan sebutan untuk semua ibadah puasa sunnah yang dilakukan pada bulan Muharram. Di zaman dulu, orang-orang Yahudi dan Nasrani juga melakukan puasa setiap tanggal 10 Muharram.  Agar tidak sama dengan ibadah mereka, Rasulullah lantas menganjurkan umat Islam untuk mengiringi puasa Asyura dengan puasa tambahan sehari sebelum atau sesudahnya. Ini merupakan bagian dari puasa Muharram.
Keistimewaan berpuasa di bulan Muharram disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi, “Puasa Muharram adalah puasa yang paling utama setelah puasa di bulan Ramadan.”

9. Puasa Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah bulan yang istimewa karena setelahnya umat Islam menyambut datangnya Ramadan.  Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah tidak banyak berpuasa di bulan-bulan lain kecuali bulan Sya’ban.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa’i disebutkan, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, tuhan semesta alam. Karenanya, aku suka berpuasa saat amalanku dinaikkan ke hadapan-Nya.”

Tidak ada tanggal khusus yang dianjurkan untuk melakukan puasa Sya’ban. Kita boleh melakukannya tanggal berapa saja dan dengan jumlah hari yang kita sanggupi. Puasa di bulan Sya’ban juga disebut sebagai ibadah latihan sebelum kita memasuki bulan Ramadan saat umat Islam diwajibkan berpuasa sebulan penuh.
Puasa pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum), yaiitu bulan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

Dari Abi Hurairah ra., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Shalat yang paling baik setelah shalat yang diwajibkan adalah shalat tengah malam dan puasa yang lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan terhormat.” (HR. Muslim)

Menurut ahli fiqh Hanafiyah puasa yang dianjurkan itu ialah tiga setiap bulan tersebut, yaitu hari Kamis, Jum’at dan Sabtu. 

2.3  Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah 
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.

Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai ibadah wajib yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung banyak hikmah yang berkaitan dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara pasti berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain. Puasa sunnah ada 10, yaitu:

1. Puasa senin kamis
2. Puasa Daud
3. Puasa syawal
4. Puasa  Bidh
5. Puasa  Dzulhijjah
6. Puasa Arafah
7. Puasa Asyura dan Puasa Tasyu’a
8. Puasa Muharram
9. Puasa  sya’ban
10. Puasa pada bulan-bulan terhormat

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Jabir Al-Jaza’iri.2017.Minhajul Muslim Panduan Hidup Menjadi Muslim Kaffah.Solo:          Pustaka Arafah.
https://blog.kitabisa.com/macam-macam-puasa-sunnah-manfaat-dan-keutamaannya/
http://kumpulanmakalahkuliahlengkap.blogspot.com/2017/02/makalah-puasa-sunnah.html

Jumat, 12 Juni 2020

Makalah Aliran Pemikiran Islam Dalam Fiqih

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
 Membahas masalah aliran-aliran pemikiran dalam islam, maka tidak lain adalah membahas masalah ajaran-ajaran islam itu sendiri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaran ajaran itu biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
    Namun sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli tentang apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah, untuk itulah kiranya kita harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam masa ini lebih dikenal dengan studi islam. Studi-studi dalam islam memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam perkembangannya ada empat buah ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu kalam, ilmu fiqih (hukum), ilmu tasawuf, dan ilmu hadits. Disini kami secara khusus akan membahas tentang aliran pemikiran fiqih dan Ushul Fiqh.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Sejarah  Munculnya Aliran Pemikiran  Islam dalam Fiqih?
2. Apa  Aliran Syafi’iyyah ( Mutakallimin ) ?
3. Apa Aliran Fuqaha( Hanafiyah) ?
4. Apa Aliran Gabungan ?
1.3 Tujuan 
1. Mengetahui Sejarah Munculnya Aliran Pemikiran Islam dalam Fiqih .
2. Mengetahui Aliran Syafi’iyyah ( Mutakallimin ).
3. Mengetahui Aliran Fuqaha ( Hanafiyah ).
4. Mengetahui Aliran Gabungan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Fiqih
Fiqh menurut bahasa Arab ialah paham atau pengertian. Menurut istilah ialah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci).Fiqih atau fiqh (bahasa Arab:ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.

2.2 Sejarah Aliran  Pemikiran Islam dalam Fiqih
   Secara historis, hukum Islam  telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad atau Madrasat al-Madis dan Madrasat al-Ra’y. Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na.. 
Aliran Madinah terbentuk karena sebagian besar sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Bagdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Maka, atas jasa para sahabat Nabi Muhammad saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah [ahli hukum] yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Masayyab. Salah satu murid Said bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antaranya, ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijma dan amal ulama Madinah sebagai hujah. Jasa sahabat Nabi Muhammad saw, yang tinggal di Bagdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abd Allah bin Mas’ud, muridnya adalah al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Amir bin Syarahil al-Sya’bi, dan Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Salah satu ciri fikih Abu Hanafiah adalah sangat ketat dalam penerimaan Hadis dan banyak menggunakan ra’y. Di antara pendapatnya adalah bahwa bendak wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan – kecuali wakaf tertentu – karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi miliki yang mewakafkan. Istimbath al-ahkam yang digunakannya adalah analogi [al-qiyas]; ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam [al-‘ariyyah] .
      Setelah melalui perkembangan panjang, produk hukum “mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fikih mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada “pemikiran” [ra’yi] dan “alnalogi” [qiyas]. Pendekatan ini diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya, produk hukum didasarkan pada sunnah, tradisi-tradisi Nabi. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz, dan di kalangan orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadis, karena itu mereka lebih menonjol menggunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahl al ra’yi. Tokoh-tokoh Kufah [Irak] yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat adalah imam Hanafiah. Sedangkan di Hijaz adalah Malik bin Annas, dan sesudahnya asy Syafi’I.
     Sejalan dengan perkembangan hukum, telah melalui proses yang panjang dan kemudian produk hukumnya mengkristal menjadi mazhab-mazhab fikih yang tetap bertahan dan diiukuti sampai saat ini, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali antara lain:
1. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Sabit, berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufa pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil berdagang mementingkah ilmu pengetahuan. Abu Hanifah belajar pada gurunya Hammad, dan setelah gurunya Hammad meninggal dunia, Abu Hanifah menggantikan tempat yang ditinggalkan gurunya itu. Setelah Abu Hanifah menjadi masyhur, kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Bani Umayyah dan kemudian juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran tersebut di tolah oleh Abu Hanifah dan atas penolakannya itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal dunia di tahun 767 M.
Mazhab Hanafi, merupakan mazhab yang resmi digunakan oleh kerajaan Usmani dan di zaman Bani Abbas banyak di anut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir .

2. Malik ibn Anas, lahir di Medinah pada 713, dan meninggal pada tahun 795 M dan berasal dari Yamam. Malik, tidak pernah meninggalkan kota itu kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama “al-Muwatta” suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fikih. Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai buku hukum yang berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak disetujui oleh Malik. Dalam perkembangan pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi yang terbentuk di Medinah berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat dipakai sebagai sumber hukum.
Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik, tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, Malik, memakai “qiyas” dan “al-masalih al-mursalah”, yaitu masalah umum. Mazhab Malik, banyak dianut di Hejaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur.

3. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, lahir di Gazza tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy, meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Ia meninggalkan pekerjaannya dan tinggal di Bagdad beberapa tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran hukum yang ditinggalkan Abu Hanifah, maka ia mengenal secara dekat fikih Malik dan fikih Abu Hanifah. Pada memikiran hukumnya, al-Syafi’I dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, yaitu bentuk bantuk baru dan bentuk lama. Bentuk lama disusun di Bagdad dan terkandung dalam al-Risalah, al-Umm, dan al-Mabsut. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini al-Syafi’I, merobah sebahagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, al-Syafi’I, berpegang pada lima tidak diketahui adanya perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan qias atau analogi. al-Syafi’I, banyak memakai sunnah Nabi sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat sederajat dengan al-Qur’an. Pemikiran Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan pemikiran al-masalih al-mursalah oleh Malik, ditolak oleh al-Syafi’I sebagai sumber hukum. Dalam perkembangannya, al-Syafi’I-lah ahli hukum Islam pertama yang menyusun ‘ilmu usul al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam, sebagai terkandung dalam buku al-Risalah.
Mzhab imam al-Syafi’i banyak berkembang dan dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.

4 Ahmad ibn Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal dari keturunan Arab dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal menggunakan lima sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-Qur’an serta sunnah Nabi, hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab Ahmad ibn Hambal, terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab Ahmad ibn Hambal merupakan mazhab resmi dari negara. Dilihat dari sisi pengikutnya, dintara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil penganutnya .

2.3 Aliran Syafi’iyyah ( Mutakallimin )
Aliran ini membangun ushul fiqih mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari ‘aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan ada kalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau tidak.
Dalam kenyataannya, ada ulama mazhab Syafi’iyyah yang berupaya menyusun teori tersendiri, sehingga terdapat pertentangan dengan teori yang telah dibangun. Misalnya, Imam al-Amidi (ahli ushul fiqh Syafi’i), menyatakan bahwa ijma’ al-Sukuti dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Imam al-Syafi’i sendiri tidak mengakui keabsahan ijma’ sukuti sebagai hujjah, karena ijma’ yang dia terima hanyalah ijma’ para sahabat secara jelas. Imam al-Amidi dan Imam al-Qarafi (ahli ushul fiqh Maliki), berupaya menggabungkan teori aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin dengan aliran yang lain.

Karya-karya Aliran Syafi’iyah(Mutakalimin)
Semua pemikirannya itu dapat dilihat dari hasil karya, berikut ini adalah kitab standar dalam aliran Syafi’iyah & Mutakalimin, diantaranya sebagai berikut:
1. Kitab al-Risalah yang disusun Imam al-Syafi’i.
2. Kitab al-Mu’tamad, disusun Abu al-Husain Muhammad ibn All al-Bashri (wafat 463 H).
3. Kitab al-Burhanfi Ushul al-Fiqih, disusun Imam al-Haramain al-Juvaini   (wafat 487 H),
4. Tiga rangkaian kitab ushul fiqih Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 H), yaitu al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil Fil Bayan al-Syabah wal Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, dan al-Mustashfa fi ’Ilm al-Ushul.

Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.

Ciri-ciri Aliran Mutakallimun
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqih aliran Mutakallimin, antara lain :
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.

2.4 Aliran Fuqaha( Hanafiyah)
Aliran ini dianut ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakal­limin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhab­nya, sehingga sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubati kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadhsahod (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Di kalangan aliran fuqaha’ sendiri ada ahli ushul fiqih yang berupaya untuk mengkompromikan kedua aliran tersebut, di antaranya adalah Imam Kamal ibn al-Humam dalam kitab ushul fiqhnya, al-Tahnr. Dari sekian banyak kitab ushul fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam aliran ini adalah Kitab al-Ushul yang disusun Imam Abu al-Hasan al-Karkhi, Kitab al-Ushul, disusun Abu Bakr al-Jashshash, Ushul al-Sarakhsi, disusun Imam al-Sarakhsi, Ta'sis al-Nazhar, disusun Imam Abu Zaid al-Dabusi (wafat 430 H), dan kitab Kasyfal-Asrar, disusun Imam al-Bazdawi.

Karya-Karya Aliran Hanafiyah
Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain :
1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash                                  (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)

Ciri-ciri Aliran Hanafiyah
Adapun Ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul adalah sebagai berikut :
1. Persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.

2. Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain.
3. Ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.

2.5 Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul trend untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqih aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqih. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.

Karya - Karya Aliran Gabungan
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah.diantaranya adalah, sebagai berikut :
1. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi.
2. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi.
3. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fiqh adalah ilmu yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa karena berisi tentang hukum syar’iyyah  bersifat praktis  yang diperoleh dari dalil- dalil terperinci dengan cara istinbath, guna membimbing manusia melaksanakan kewajibanya kepada Allah  swt.  dengan baik dan benar.
Pemikiran Islam adalah pemikiran yang  khas, lain dari pada yang lain. Ini wajar, sebab pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya. 

Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad.Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Baghdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Baghdad. Atas jasa Nabi Muhammad yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan-gagasan gurunya dari kalangan sahabat. Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’ad bin al-Musayyab. Salah satu muridnya adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan diantara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Diantara ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijmak dan amal ulama madinah sebagai hujah. Atas jasa Rasulullah yang tinggal di Bagdad, terbentuklah aliran Ra’yu, sahabat yang tinggal disana ialah Abd Allah bin Mas’ud, ia memiliki murid yang bernama alAswad bin Yazid alNakha’i, kemudian alAswad memiliki murid yang bernama Amir bin Syarahil, lalu Amir memiliki murid yang bernama Abu Hanifah, pendiri aliran Hanafi.

Murid Imam Malik adalah Muhammad bin Idris alSyafi’i, pendiri aliran alSyafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi qaul qadim dan qaul jadid.Salah satu murid Imam Syafi’i adalah Ahmad bin Hambal, pendiri aliran Hanabilah. Disamping itu masih ada aliran Zhahiriyah yang didirikan oleh Imam Daud al-Zhahiri, dan aliran Jaririyah yang didirikan oleh Ibnu Jarir al-Thabari.
Dengan demikian, kita telah mengenal sejumlah aliran Fikih, diantaranya Madrasah Madinah, Madrasah Baghdad, Aliran Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi’i, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah, dan Aliran Jaririyah. Tidak terdapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam, karena banyak aliran yang muncul dan kemudian menghilang karena tidak ada yang mengembangkannya.
3.2 Saran
Inilah makalah yang dapat kami buat. Pasti makalah ini masih dikatakan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami pun menunggu setiap keritik bapak dosen terhadap kami. Begitu juga kami pun meminta saran, yang membangun supaya kami dapat melengkapi apa yang menjadi kekurangan kami.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Atang Abd. Hakim,M.A, Metodologi Studi Islam, Bandung :PT.Remaja Rosdak Raya,2012.
http://chariril.blogspot.com/2014/12/aliran-aliran-dalam-pemikiran-islam-dan.html diakses pada tanggal 22 Februari 2020 pukul 21.05
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/11/makalah-aliran-aliran-dalam-pemikiran.html diakses pada tanggal 22 Februari 2020 pukul 21.15
http://mpirill.blogspot.com/2016/12/makalah-aliran-pemikiran-dalam-islam.html  diakses pada tanggal 22 Februari 2020 pukul 21.20