Jumat, 12 Juni 2020

Makalah Ahwal Tasawuf


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1         LatarBelakang
Ahwal adalah hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan yang di kehendaki. Yang pertama berupa keadaan, sedangkan yang kedua berupa tahapan perjalanan. Keduanya dapat dibedakan namun sering pula disamakan, bahkan dipertukarkan.
Pernyataan para sufi tentang kedua tema tersebut sangat beragam. Keragaman itu terdapat dalam pengertian yang dirumuskan, jumlahnya, pembagian urutannya, dan isyarat-isyarat yang diberikan tentang keduanya. Dibalik keragaman ini, tentu terdapat jumlah segi-segi yang mempertemukannya.
Keragaman pernyataan para sufi tentang ahwal dapat dimengerti. Mereka memperkatakan dengan keduanya menurut kata hati mereka, dengan berdasarkan pengalaman yang bersifat individual. Pembicaraan tentang  ahwal dalam tasawuf menjadi berkembang dengan bertambahnya jumlah para sufi dari waktu ke waktu.

1.2         RumusanMasalah
1.      ApaPengertian Ahwal ?
2.      ApaMacam-macam Ahwal ?

1.3         Tujuan
1.        Untuk Mengetahui Pengertian Ahwal
2.        Untuk Mengetahui Macam-macam Ahwal

3.       
BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah dan rahmat dari Tuhan.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi di atas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam di dalam kalbu dengan sebab zikir yang tulus". Ada yang mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadis Nabi yang menyatakan bahwa sebaik~baik zikir adalah yang lirih (khayr al-dzikir al-khafy). Menurut Al-Saraj, Al-Junajd juga melihat bahwa ha] bertempat di dalam kalbu dan tidak kekal. Dalam pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh melalui ibadah, riyadhah, dan mujahadah sebagaimana maqamat, melainkan anugerah Allah.
Kendatipun kondisi atau sikap mental itu semata anugerah Allah, bukan karena latihan dan perjuangan, namun bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya haruslah berusaha menjadikan dirinya orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut. yaitu dengan meningkatkan amal perbuatannya, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.
Jika dirunut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal  sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali bin Abi Thalib: ketika ia ditanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin) keadilan (‘ adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini. tokoh pertama yang juga membahas tentang ahwal adalah Zunnun L Mishri (w. 796 M - 861 M), sementara Sari al-Saqati (W. 253 H/ 867 M) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang akhwal.

2.2         Macam-Macam Ahwal.
1.      Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Bisa jadi perasaan khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah begitu mendalam, sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya.
Dalam hubungan ini Imam al-Gazali berbicara tentang macam-macam khauf. Beliau membagi khauf kepada dua macam, yaitu: (1) khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan (2) khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
Dalam pandangan Al-Sarraj, Khauf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan.

2.      Raja’
Raja' berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh, kerena ia yakin bahwa Allah Maha Pengasih, Penyayang, dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampun, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah. Perasaan optimis ini akan memberi gairah bagi sufi untuk terwujudnya apa yang diidam-idamkan.
Dalam konteks ini Ibn Qudamah al-Muqaddasi mengatakan bahwa yang dikatakan dengan raja’ ialah rasa lapang dada karena menantikan yang diharapkan, yaitu hal yang mungkin terjadi. Tetapi jika yang diharapkan itu mustahil terjadi, maka yang demikian dinamakan tamanni (ilusi). Beliau juga mengatakan “sesuatu yang terlintas di dalam hati yang merupakan harapan pada masa yang akan datang dinamakan raja’, dan yang merupakan sesuatu yang ditakuti dinamakan khauf”. Demikianlah arti raja’, yang mendorong seorang Muslim untuk selalu berbuat baik dan beramal saleh demi mengharap karunia dan rahmat Allah. Allah Swt. berflrman:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah [2]: 218)
3.      Syauq
Syauq adalah kerinduan, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Secara psikologi, rindu tidak akan tumbuh, melainkan terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Terhadap sesuatu yang belum diketahui tidak mungkin lahir rasa rindu. Kesempumaan rasa rindu itu adalah dengan ru’yah (melihat) dan liqa’ (bertemu) yang dirindukan‘ dan yang demikian akan dapat pada hari akhir nanti.
Dengan demikian, syauq adalah rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang danbergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, dan hasrat yang selalu bergelora. Setiap denyut jantung, detak kalbu dan desah napas, ingatannya hanya kepada Allah. Inilah Syauq_ Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu ada Sedekat mungkin dengan Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.
4.      ‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman. Perasaan {Uns merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan (pencerahan dalam kebenaran). Seseorang yang Pada kondisi ‘Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, serta suka cinta yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah yang mana hati dan perasaan diliputi oleh cinta dan lain-lain. Menurut Abu Sa’id A1~Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Zunnun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya”. Menurut AlSarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempuma kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Pengertian lain, ‘Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut Al-‘Uns. Situasi ‘Uns ini mirip dengan al-fana sebab kata Dzu al-nun seseorang yang memperoleh keadaan ‘Uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah sampai kepada kondisi ‘Uns, andai kata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan ‘Uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namun orang suti tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahn, yaitu sekadar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah. Dalam pandangan kaum sufi, sifat ‘Uns (intim) adalah sifat merasa selalu beneman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat ‘Uns, “Ada orang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada juga yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu berteman di mana pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah”. Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang suli dengan Tuhannya. Sikap keintiman tersebut banyak dialami oleh kaum sufi. Orang-orang yang intim (yang merasakan ‘Uns) itu terbagi atas tiga tingkatan.
a)   Mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
b)   Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apa pun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
c)   Hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan, dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘Uns itu sendiri.

5.      Mahabah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam perspektif tasawuf, mahabah bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecenderungan kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang Cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa datang dari yang dikasihinya.

6.      Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secan Iangsung, tanamanlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dan' penemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al-Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya. dengan segenap jiwanya.
Selanjutnya, menurut sebagian orang sufi, yaqin adalah suatu pengetahuan yang diletakkan ke dalam hati seseorang. Jadi berdasarkan pendapat ini bahwa keyakinan itu adalah pengetahuan yang didapat tanpa melalui usaha, tapi hanya semata limpahan karunia Allah. Sebaliknya, Abu Bakar Thahir mengatakan: “Yaqin adalah ilmu yang memiliki kepastian tanpa ada keraguan". Berdasarkan pengertian ini maka yaqin adalah pengetahuan yang didapat dengan perantaraan usaha. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf itu bagi orang mubtadi didapatnya dengan perantaraan belajar. Namun bagi orang muntani, ilmu itu hanya didapat melalui limpahan karunia Allah Swt. Keyakinan menurut Al-Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang tampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.

BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:
1.      Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
2.      Macam-Macam Ahwal
a)      Khauf berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian.
b)      Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh, kerena ia yakin bahwa Allah Maha Pengasih, Penyayang, dan Maha Pengampun.
c)      Syauq adalah kerinduan, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya.
d)     ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat.
e)      Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
f)       Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya.

3.2     SARAN
Demikianlah makalah kami yang berisikan tentang Ahwal (Perilaku Suf’i).
Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun  target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Siregar A. Rivay, Tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sSufisme, Jakarta, 2000
Abdul Kadir Mahmud, Falsafah al-Shoufiyahfi'l Islam , Dar al Fikri a1 Arabi, Kairo, 1966
Abdul. Karim al-Iili, Al Insan al-Kamil, 1s Ma’rifatalAwakhirwa'lAwail, Musthafa al-Halabi, Kairo, 1956
Abdul Karim al-Qusyairi, Al -Risalah al-Qusyairiyah , M. Ali Shabih, Kairo, 1966

Tidak ada komentar:

Posting Komentar