BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang
Ahwal adalah hal yang
senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan
yang di kehendaki. Yang pertama berupa keadaan, sedangkan yang kedua
berupa tahapan perjalanan. Keduanya dapat dibedakan namun sering pula
disamakan, bahkan dipertukarkan.
Pernyataan para sufi tentang kedua
tema tersebut sangat beragam. Keragaman itu terdapat dalam pengertian yang
dirumuskan, jumlahnya, pembagian urutannya, dan isyarat-isyarat yang diberikan
tentang keduanya. Dibalik keragaman ini, tentu terdapat jumlah segi-segi yang
mempertemukannya.
Keragaman pernyataan para sufi
tentang ahwal dapat dimengerti. Mereka memperkatakan dengan keduanya
menurut kata hati mereka, dengan berdasarkan pengalaman yang bersifat individual.
Pembicaraan tentang ahwal dalam tasawuf menjadi berkembang
dengan bertambahnya jumlah para sufi dari waktu ke waktu.
1.2
RumusanMasalah
1.
ApaPengertian Ahwal ?
2.
ApaMacam-macam Ahwal ?
1.3
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Ahwal
2.
Untuk Mengetahui Macam-macam Ahwal
3.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari
‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang
dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Hal ini merupakan
anugerah dan rahmat dari Tuhan.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup
lebih dahulu dari para sufi di atas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang
bersemayam di dalam kalbu dengan sebab zikir yang tulus". Ada yang
mengatakan bahwa hal adalah zikir yang lirih (khafiy), sebagaimana Hadis Nabi
yang menyatakan bahwa sebaik~baik zikir adalah yang lirih (khayr al-dzikir
al-khafy). Menurut Al-Saraj, Al-Junajd juga melihat bahwa ha] bertempat di
dalam kalbu dan tidak kekal. Dalam pandangan al-Sarraj, hal tidak diperoleh
melalui ibadah, riyadhah, dan mujahadah sebagaimana maqamat, melainkan anugerah
Allah.
Kendatipun kondisi atau sikap
mental itu semata anugerah Allah, bukan karena latihan dan perjuangan, namun
bagi setiap orang yang ingin meningkatkan intensitas jiwanya haruslah berusaha
menjadikan dirinya orang yang berhak menerima anugerah Allah tersebut. yaitu
dengan meningkatkan amal perbuatannya, baik dari segi kualitas maupun dari segi
kuantitasnya.
Jika dirunut sejarahnya, konsep
tentang maqamat dan ahwal sesungguhnya
telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua
konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali bin Abi Thalib: ketika ia ditanya
tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran
(shabr), keyakinan (yaqin) keadilan (‘ adl) dan perjuangan (jihad). Senada
dengan pandangan ini. tokoh pertama yang juga membahas tentang ahwal adalah
Zunnun L Mishri (w. 796 M - 861 M), sementara Sari al-Saqati (W. 253 H/ 867 M)
merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang akhwal.
2.2
Macam-Macam Ahwal.
1.
Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti
suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya
pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh
karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku
perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Bisa jadi perasaan
khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena
pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah begitu mendalam, sehingga ia merasa
khawatir kalau-kalau Allah melupakannya.
Dalam hubungan ini Imam al-Gazali
berbicara tentang macam-macam khauf. Beliau membagi khauf kepada dua macam,
yaitu: (1) khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang
untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan (2)
khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf seperti inilah
yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa
yang diperintah.
Dalam pandangan Al-Sarraj, Khauf
(takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa
dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua
kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya.
Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi
karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan.
2.
Raja’
Raja' berarti suatu sikap mental
yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat Ilahi yang disediakan bagi
hamba-hamba-Nya yang saleh, kerena ia yakin bahwa Allah Maha Pengasih,
Penyayang, dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampun,
merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah.
Perasaan optimis ini akan memberi gairah bagi sufi untuk terwujudnya apa yang
diidam-idamkan.
Dalam konteks ini Ibn Qudamah
al-Muqaddasi mengatakan bahwa yang dikatakan dengan raja’ ialah rasa lapang
dada karena menantikan yang diharapkan, yaitu hal yang mungkin terjadi. Tetapi
jika yang diharapkan itu mustahil terjadi, maka yang demikian dinamakan tamanni
(ilusi). Beliau juga mengatakan “sesuatu yang terlintas di dalam hati yang
merupakan harapan pada masa yang akan datang dinamakan raja’, dan yang
merupakan sesuatu yang ditakuti dinamakan khauf”. Demikianlah arti raja’, yang
mendorong seorang Muslim untuk selalu berbuat baik dan beramal saleh demi
mengharap karunia dan rahmat Allah. Allah Swt. berflrman:
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun Iagi Maha
Penyayang”. (QS Al-Baqarah [2]: 218)
3.
Syauq
Syauq adalah kerinduan, karena
setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Secara
psikologi, rindu tidak akan tumbuh, melainkan terhadap sesuatu yang sudah
diketahui. Terhadap sesuatu yang belum diketahui tidak mungkin lahir rasa
rindu. Kesempumaan rasa rindu itu adalah dengan ru’yah (melihat) dan liqa’
(bertemu) yang dirindukan‘ dan yang demikian akan dapat pada hari akhir nanti.
Dengan demikian, syauq adalah rasa
rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang
danbergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu,
dan hasrat yang selalu bergelora. Setiap denyut jantung, detak kalbu dan desah
napas, ingatannya hanya kepada Allah. Inilah Syauq_ Perasaan inilah yang
menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu ada Sedekat mungkin dengan
Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.
4.
‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti
keakraban atau keintiman. Perasaan {Uns merupakan kondisi kejiwaan, di mana
seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan (pencerahan dalam kebenaran).
Seseorang yang Pada kondisi ‘Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, serta
suka cinta yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seorang sufi ketika merasakan
kedekatan dengan Allah yang mana hati dan perasaan diliputi oleh cinta dan
lain-lain. Menurut Abu Sa’id A1~Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan
Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Zunnun memandang ‘Uns sebagai
perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap kekasihnya. Salah
seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain
dengan-Nya”. Menurut AlSarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah
ketika sempuma kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari
segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Pengertian lain, ‘Uns adalah
keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum
yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang
diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak
menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam
sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut Al-‘Uns. Situasi ‘Uns
ini mirip dengan al-fana sebab kata Dzu al-nun seseorang yang memperoleh
keadaan ‘Uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan
panasnya neraka itu. Dan Al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah
sampai kepada kondisi ‘Uns, andai kata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak
akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan ‘Uns itu mirip dan sudah
hampir sama dengan fana, namun orang suti tidak menyebutnya fana, tetapi
al-mahn, yaitu sekadar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah.
Dalam pandangan kaum sufi, sifat ‘Uns (intim) adalah sifat merasa selalu beneman,
tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat ‘Uns, “Ada orang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya
sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada juga
yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang memikirkan atau
merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu berteman di
mana pun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau
selalu berada dalam pemeliharaan Allah”. Ungkapan di atas melukiskan keakraban
atau keintiman seorang suli dengan Tuhannya. Sikap keintiman tersebut banyak
dialami oleh kaum sufi. Orang-orang yang intim (yang merasakan ‘Uns) itu
terbagi atas tiga tingkatan.
a) Mereka
yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim
dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
b) Ketika
sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apa pun
selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang
menyibukkannya.
c) Hilangnya
pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan, dan keagungan bersama
‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘Uns itu sendiri.
5.
Mahabah
Mahabah secara literal mengandung
beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Mahabah berasal
dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah
sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam perspektif tasawuf, mahabah
bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut Al-Junaid, cinta
adalah kecenderungan kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa
usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang
dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang Cinta sebagai menyukai kepada apa
yang disenanginya dan apa-apa datang dari yang dikasihinya.
6.
Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang
luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi
dengan perjumpaan secan Iangsung, tanamanlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi
perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan
yang diperoleh dan' penemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan
Al-Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya. dengan segenap
jiwanya.
Selanjutnya, menurut sebagian orang
sufi, yaqin adalah suatu pengetahuan yang diletakkan ke dalam hati seseorang.
Jadi berdasarkan pendapat ini bahwa keyakinan itu adalah pengetahuan yang
didapat tanpa melalui usaha, tapi hanya semata limpahan karunia Allah.
Sebaliknya, Abu Bakar Thahir mengatakan: “Yaqin adalah ilmu yang memiliki
kepastian tanpa ada keraguan". Berdasarkan pengertian ini maka yaqin
adalah pengetahuan yang didapat dengan perantaraan usaha. Sebagai ilmu
pengetahuan, tasawuf itu bagi orang mubtadi didapatnya dengan perantaraan
belajar. Namun bagi orang muntani, ilmu itu hanya didapat melalui limpahan karunia
Allah Swt. Keyakinan menurut Al-Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah
pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal.
Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang tampak (Zahir)
Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:
1. Ahwal
adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental
(mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.
2. Macam-Macam
Ahwal
a)
Khauf berarti
suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya
pengabdian.
b)
Raja’ berarti
suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat Ilahi yang
disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh, kerena ia yakin bahwa Allah Maha
Pengasih, Penyayang, dan Maha Pengampun.
c)
Syauq adalah
kerinduan, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya.
d) ‘Uns
adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada
kondisi yang sangat dekat.
e)
Mahabah berasal
dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah
sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
f)
Yaqin adalah
kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia
miliki, karena ia sendiri menyaksikannya.
3.2 SARAN
Demikianlah makalah kami yang berisikan tentang Ahwal
(Perilaku Suf’i).
Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Siregar A.
Rivay, Tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sSufisme, Jakarta, 2000
Abdul Kadir
Mahmud, Falsafah al-Shoufiyahfi'l Islam , Dar al Fikri a1 Arabi, Kairo, 1966
Abdul. Karim
al-Iili, Al Insan al-Kamil, 1s Ma’rifatalAwakhirwa'lAwail, Musthafa al-Halabi,
Kairo, 1956
Abdul Karim
al-Qusyairi, Al -Risalah al-Qusyairiyah , M. Ali Shabih, Kairo, 1966
Tidak ada komentar:
Posting Komentar